BAHASA AL-QUR’AN:
ANTARA LINGUISTIK DAN KULTURAL
Oleh: Zulfan Syahansyah
I. PENDAULUAN
Islam sebagai agama yang terakhir, karena –dalam aqidah Islam– tidak ada lagi agama sesudahnya, telah Allah turunkan pertama kali di Jazirah Arabia, tepatnya di tanah Makkah pada 14 abad yang lalu. Ia diturunkan untuk umat manusia melalui utusan terakhir-Nya, Muhammad bin Abdullah yang juga asli keturunan bangsa Arab. Karenanya, wahyu yang diturankan berupa Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab. Sebab, tidak logis jika Allah SWT. mewahyukan ajaran Islam menggunakan bahasa non-Arab. Ini ditegaskan dalam AlQur’an, “Dan Jikalau kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?" apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: "Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh".(QS:41.44).
Meski demikian, kita wajib mengimani bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi umat Islam di seantero alam; bukan hanya orang Arab an-sich, “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya , supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”(QS:14.4)
***
Di tengah “perang” wacana Arabisasi Islam antara kelompok muslim liberal dan literal, kita tetap harus objektif dalam menilai Arab. Jika ada yang merelatifkan penggunaan bahasa Arab sebagai media penyampai dalam Al-Qur’an, dikarenakan Nabi Muhammad adalah orang Arab, seyogyanya ia tidak mencukupkan “kekritisan”nya hanya sampai disini. Kenapa Allah lahirkan Muhammad melalui rahim seorang Aminah; wanita berkebangsaan keturunan Arab? Kenapa tidak melalui wanita-wanita lain; wanita Yunani, Romawi, Cina, atau India? Bukankah pada 14 abad yang lalu peradaban bangsa Arab jauh tertinggal dibandingkan empat bangsa di atas?
Jika jawabannya agar Islam menjadi sebuah peradaban yang baru, karenanya harus diturunkan di tengah komunitas berperadaban rendah, maka masih banyak pada waktu itu bangsa yang jauh lebih katrok dari bangsa Arab! Jadi, semestinya kita berfikir lebih arif. Pasti ada hikmah di balik skenario Allah menjadikan Muhammad sebagai sosok berkebangsaan Arab.
Untuk menilai sebuah komunitas, tidak cukup hanya membaca karya-karya tulis, atau menyaksikan film, apalagi hanya mendengar cerita tanpa mengetahui secara pasti karakteristik penduduk setempat. Demikian halnya saat kita ingin menilai Arab sebagai peradaban. Untuk tidak sekedar mencaci-maki atau berapologi. Saat ini yang terjadi, banyak muslim non-Arab yang mengaku sebagai pemikir Islam, dengan jargon ‘Menyegarkan Pemahaman Islam’, kemudian mementahkan makna Arab sebagai tempat transit Islam pertamakali sebelum tersebar kepada umat manusia di penjuru alam. Padahal, mereka yang merelativkan “Arab”, saat di tanah Arab –jika memang pernah– secara eksplisit tidak pernah melakukan penelitian tentang “kenapa Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab?” Jika terjawab, tidak akan lebih dari sekedar replay: karena Nabi Muhammad orang Arab. Sekali lagi, tidak lebih.
Dan sampai saat inipun masih belum ada hasil penelitian yang bisa menjawab secara empiris; kenapa Allah memilih Rasul-Nya dari kalangan bangsa Arab? Ada apa dengan peradaban, dalam hal ini bahasa Arab dan kebudayaannya; kemarin, hari ini dan esok? Mestinya, jika mengaku pemikir Islam, apalagi cinta, buktikan dengan mencoba tinggal (untuk sementara) di Makkah, kota kelahiran Muhammad dan Islam. minimal untuk mengetahui bagaimana tanah Arab, khususnya Makkah dan Madinah, serta watak penduduk setempat.
***
II. AL-QUR’AN
“Kitab (Al-Qur’an) ini, tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” Demikian terjemahan Al-Qur’an (QS. 2:2), sebagai penegas bagi orang-orang yang bertaqwa; bahwa tidak akan pernah ada kesalahan dalam al-Qur’an, baik secara harfiah atau kandungan ajarannya untuk dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupan di dunia. Sebagai mukjizat Nabi Muhammad, Al-Qur’an terbukti, dan harus kita yakini akan selalu otentik sepanjang zaman.
Secara bahasa, Al-Qur’an berarti “bacaan sempurna”. Kesempurnaannya dapat kita tinjau dari beberapa aspek, yang sekiranya dibandingkan dengan bacaan-bacaan lainnya, tidak akan ada alasan untuk menafikan kesempurnaanya. Prof. Dr. M. Quraish Shihab, dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an, menuturkan beberapa aspek yang menjadi sebagian dari mukjizat Al-Qur’an:
Pertama, Al-Quran adalah bacaan ratusan juta orang bahkan milyaran sejak awal pembukuannya; bukan saja bagi yang mengerti, tapi juga “enak” dibaca oleh mereka yang tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak.
Kedua, Tiada bacaan melebihi Al-Quran dalam perhatian yang diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat turunnya, sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya. Tiada bacaan seperti Al-Quran yang dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan yang ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi demi generasi. Kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan mereka, namun semua mengandung kebenaran.
Al-Quran layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Tiada bacaan seperti Al-Quran yang diatur tatacara membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal atau diperhalus ucapannya, di mana tempat yang terlarang, atau boleh, atau harus memulai dan berhenti, bahkan diatur lagu dan iramanya, sampai kepada etika membacanya. Adakah buku bacaan atau kitab suci yang menyerupai Al-Qur’an dari aspek-aspek tersebut?
III. ARAB DAN KEUTAMAAN
Ust. Ahmad Sarwat, Lc saat menjawab pertanyaan prihal alasan turunnya Islam di Jazirah Arab, di situs ‘era muslim’ mengatakan: sedikitnya ada dua sebab mendasar yang bisa dijadikan alasan untuk hal tersebut: aspek kultur dan budaya Arab, serta faktor intrinsik bahasa Arab itu sendiri yang menurut para pakar bahasa memiliki keutamaan-keutamaan yang tidak dijumpai pada bahasa lainnya.
A. Aspek Kultur dan Kebudayaan
1. Tempat Rumah Ibadah Pertama
Tanah Syam (Palestina) merupakan negeri para nabi dan rasul. Hampir semua nabi yang pernah ada di tanah itu. Sehingga hampir semua agama dilahirkan di tanah ini. Yahudi dan Nasrani adalah dua agama besar dalam sejarah manusia yang dilahirkan di negeri Syam. Namun sesungguhnya rumah ibadah pertama di muka bumi justru tidak di Syam, melainkan di Jazirah Arabia. Yaitu dengan dibangunnya rumah Allah (Baitullah) yang pertama kali di tengah gurun pasir jazirah arabia.
Rumah ibadah pertama itu menurut riwayat dibangun jauh sebelum adanya peradaban manusia. Adalah para malaikat yang turun ke muka bumi atas izin Allah untuk membangunnya. Lalu mereka bertawaf di sekeliling ka'bah itu sebagai upaya pertama menjadikan rumah itu sebagai pusat peribadatan umat manusia hingga hari kiamat menjelang.
Ketika Adam as diturunkan ke muka bumi, beliau diturunkan di negeri yang sekarang dikenal dengan India. Sedangkan isterinya diturunkan di dekat ka'bah. Lalu atas izin Allah keduanya dipertemukan di Jabal Rahmah, beberapa kilometer dari tempat dibangunnya ka'bah.
Maka jadilah wilayah sekitar ka'bah itu sebagai tempat tinggal mereka dan ka'bah sebagai tempat pusat peribadatan umat manusia. Dan di situlah seluruh umat manusia berasal dan di tempat itu pula manusia sejak dini sudah mengenal sebuah rumah ibadah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
“Sesungguhnya rumah yang pertama dibangun untuk manusia beribadah adalah rumah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi manusia.” (QS. Ali Imran: 96)
2. Kawasan strategis
Bila kita cermati peta dunia, kita akan mendapati adanya banyak benua yang menjadi titik pusat peradaban manusia. Dan Jazirah Arabia terletak di antara tiga benua besar yang sepanjang sejarah menjadi pusat peradaban manusia. Sejak masa Rasulullah SAW, posisi jazirah arabia adalh posisi yang strategis dan tepat berada di tengah-tengah dari pusat peradaban dunia. Bahkan di masa itu, bangsa Arab mengenal dua jenis mata uang sekaligus, yaitu dinar dan dirham. Dinar adalah jenis mata uang emas yang berlaku di Barat yaitu Romawi dan Yunani. Dan Dirham adalah mata uang perak yang dikenal di negeri timur seperti Persia. Dalam literatur fiqih Islam, baik dinar maupun dirham sama-sama diakui dan dipakai sebagai mata uang yang berlaku.
Ini menunjukkan bahwa jazirah arab punya akses yang mudah baik ke barat maupun ke timur. Bahkan ke utara maupun ke selatan, yaitu Syam di utara dan Yaman di Selatan. Dengan demikian, ketika Muhammad SAW diangkat menjadi nabi dan diperintahkan menyampaikannya kepada seluruh umat manusia, sangat terbantu dengan posisi Jazirah Arabia yang memang sangat strategis dan tepat berada di pertemuan semua peradaban.
Kita tidak bisa membayangkan bila Islam diturunkan di wilayah kutub utara yang dingin dan jauh dari mana-mana. Tentu akan sangat lambat sekali dikenal di berbagai peradaban dunia. Juga tidak bisa kita bayangkan bila Islam diturunkan di kepulauan Irian yang jauh dari peradaban manusia. Tentu Islam hingga hari ini masih mengalami kendala dalam penyebaran.
Sebaliknya, jazirah arabia itu memiliki akses jalan darat dan laut yang sama-sama bermanfaat. Sehingga para dai Islam bisa menelusuri kedua jalur itu dengan mudah. Sehingga di abad pertama hijriyah sekalipun, Islam sudah masuk ke berbegai pusat peradaban dunia. Bahkan munurut HAMKA, di abad itu Islam sudah sampai ke negeri nusantara ini. Dan bahkan salah seorang shahabat yaitu Yazid bin Mu'awiyah ikut dalam rombongan para dai itu ke negeri ini dengan menyamar.
3. Kesucian Bangsa Arab
Stigma yang selama ini terbentuk di benak tiap orang adalah bahwa orang Arab di masa Rasulullah SAW itu jahiliyah. Keterbelakangan teknologi dan ilmu pengetahuan dianggap sebagai contoh untuk menjelaskan makna jahiliyah. Padahal yang dimaksud dengan jahiliyah sesungguhnya bukan ketertinggalan teknologi, juga bukan kesederhanaan kehidupan suatu bangsa. Jahiliyah dalam pandangan Qur’an adalah lawan dari Islam. Maka hukum jahiliyah adalah lawan dari hukum Islam. Kosmetik jahiliyah adalah lawan dari kosmetik Islam. Semangat jahiliyah adalah lawan dari semangat Islam.
Bangsa Arab memang sedikit terbelakang secara teknologi dibandingkan peradaban lainnya di masa yang sama. Mereka hidup di gurun pasir yang masih murni dengan menghirup udara segar. Maka berbeda dengan moralitas maknawiyah bangsa lain yang sudah semakin terkotori oleh budaya kota, maka bangsa Arab hidup dengan kemurnian nilai kemanusiaan yang masih asli.
Maka sifat jujur, amanah, saling menghormati dan keadilan adalah ciri mendasar dari watak bangsa yang hidup dekat dengan alam. Sesuatu yang telah sulit didapat dari bangsa lain yang hidup di tengah hiruk pikuk kota. Sebagai contoh mudah, bangsa Arab punya akhlaq mulia sebagai penerima tamu. Pelayanan kepada seorang tamu yang meski belum dikenal merupakan bagian dari harga diri seorang Arab sejati. Pantang bagi mereka menyia-nyiakan tamu yang datang. Kalau perlu semua persediaan makan yang mereka miliki pun diberikan kepada tamu. Pantang bagi bangsa Arab menolak permintaan orang yang kesusahan. Mereka amat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang paling dasar.
Ketika bangsa lain mengalami degradasi moral seperti minum khamar dan menyembah berhala, bangsa Arab hanyalah menjadi korban interaksi dengan mereka. 360 berhala yang ada di sekeliling ka'bah tidak lain karena pengaruh interaksi mereka dengan peradaban Barat yang amat menggemari patung. Bahkan sebuah berhala yang paling besar yaitu Hubal, tidak lain merupakan sebuah patung yang diimpor oleh bangsa Arab dari peradaban luar. Maka budaya paganisme yang ada di Arab tidak lain hanyalah pengaruh buruk yang diterima sebagai imbas dari pergaulan mereka dengan budaya Romawi, Yunani dan Yaman. Termasuk juga minum khamar yang memabukkan, adalah budaya yang mereka import dari luar peradaban mereka. Namun sifat jujur, amanah, terbuka dan menghormati sesama merupakan akhlaq dan watak dasar yang tidak bisa hilang begitu saja. Dan watak dasar seperti ini dibutuhkan untuk seorang dai, apalagi generasi dai pertama.
Mereka tidak pernah merasa perlu untuk memutar balik ayat Allah sebagaimana Yahudi dan Nasrani melakukannya. Sebab mereka punya nurani yang sangat bersih dari noda kotor. Yang mereka lakukan adalah taat, tunduk dan patuh kepada apa yang Allah perintahkan. Begitu cahaya iman masuk ke dalam dada yang masih bersih dan suci, maka sinar itu membentuk proyeksi iman dan amal yang luar biasa. Berbeda dengan bani Israil yang dadanya sesat dengan noda jahiliyah, tak satu pun ayat turun kecuali ditolaknya. Dan tak satu pun nabi yang datang kecuali didustainya.
Bangsa Arab tidak melakukan hal itu saat iman sudah masuk ke dalam dada. Maka ending sirah nabawiyah adalah ending yang paling indah dibandingkan dengan nabi lainnya. Sebab pemandangannya adalah sebuah lembah di tanah Arafah di mana ratusan ribu bangsa Arab berkumpul melakukan ibadah haji dan mendengarkan khutbah seorang nabi terakhir. Sejarah rasulullah berakhir dengan masuk Islamnya sebagian besar bangsa Arab di sekeliling nabi. Bandingkan dengan sejarah Kristen yang berakhir dengan terbunuhnya (diangkat) sang nabi. Atau Yahudi yang berakhir dengan pengingkaran atas ajaran nabinya. Hanya bangsa yang hatinya masih bersih saja yang mampu menjadi tiang pancang peradaban manusia dan titik tolak penyebar agama terakhir ke seluruh penjuru dunia.
B. Aspek Bahasa
Secara historis, bahasa Arab adalah termasuk salah satu dari rumpun bahasa Semit, yang meliputi bahasa-bahasa Babilonia, Asyuria, Aramy, Ibrani, Yaman Lama, Habsyi Semit dan bahasa Arab itu sendiri. Ketiga bahasa yang pertama telah lenyap, demikian pula sebagian dari bahasa-bahasa Yaman Lama. Sedangkan tiga yang terakhir masih ada, tapi bahasa Arab adalah yang paling menonjol dan paling luas tersiar dan tersebar. Realita inilah yang menjadi salah satu penyebab keunggulan bahasa Arab dari bahasa lainnya; sampai saat ini masih “hidup” dan menjadi alat berkomunikasi resmi, setidaknya oleh masyarakat yang tinggal di kawasan Jazirah Arab dan Asia Tengah
Secara temporal, konteks yang penulis maksud dengan keutamaan bahasa Arab sebagai linguistik yang dipakai untuk sebuah kitab (bacaan) suci adalah saat masa penurunan Al-Qur’an. Dalam hal ini, Al-Biruni, salah seorang ilmu¬wan non-Arab berpendapat, seperti yang ditulis oleh Budhy Munawwar Rahcman: bahwa menulis ilmu harus dalam bahasa Arab. Hal ini karena memang wak¬tu itu tidak ada bahasa yang bisa memuat ilmu pengetahuan selain bahasa Arab, sebanding dengan bahasa Inggris dalam perannya di zaman modern.
Banyak dalil dari Al-Qur’an yang mengungkap alasan kenapa ia turun dengan menggunakan bahsa Arab. Diantaranya; QS. 12: 2, 14: 4, 13: 37, 44: 58, dan 46 : 12. Boleh dikata, hampir semua ayat tersebut menyatakan, bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dalam “bahasa Arab”. Adalah keliru jika karena Allah menurunkan Al-Quran ke dalam bahasa Arab kemudian dikatakan “tidak universal”. Kenapa Allah memilih bahasa Arab? Bukan bahasa lain? Barangkali itu adalah hak “ketuhanan” Allah yang jelas tidak bisa kita kritisi untuk menafikannya. Meski demikian, pilihan Allah mengapa Al-Quran itu dalam bahasa Arab bisa dijelaskan secara ilmiah dengan beberapa point argument berikut:
1. Bahasa Tertua Yang Terbukti Masih Aktif
Rasulullah saw. dengan suatu mukjizat Ilahi, yang merupakan wujud dari rancangan azali (rancangan primordial) tampil dengan menggunakan bahasa Arab yang secara kebetulan merupakan salah satu dari empat bahasa yang sangat kaya dan berpengaruh dalam sejarah umat manusia. Hingga saat ini bahasa Arab masih tetap ada, sementara tiga bahasa lainnya, yaitu bahasa Sansekerta, Yunani, dan Romawi serta Latin telah mati.
Di samping itu, bahasa Arab lah yang menjadi bahasa kitab suci yang masih aktif dipakai. Ia juga termasuk dari rumpun bahasa Semit yang masih bertahan dan berkembang. Bahkan Bible (Old Testament) yang diklaim bahasa aslinya bahasa Ibrani (Hebrew) telah musnah, sehingga tidak ada naskah asli dari Perjanjian Lama (PL). Meskipun begitu, menurut Isrâ’il Wilfinson, dalam bukunya Târîkh al-Lughât al-Sâmiyyah (History of Semitic Language), seperti yang dikutip Prof. Al-A‘zamî, ternyata bahasa asli PL itu tidak disebut Ibrani. Bahasa pra-pengasingan (pre-exilic language) yang digunakan oleh Yahudi adalah dialek Kanaan dan tidak dikenal sebagai Ibrani. Orang-orang Funisia (atau lebih tepatnya, orang-orang Kanaan) menemukan alfabet yang benar pertama kali ± 1500 S.M, berdasarkan huruf-huruf ketimbang gambar-gambar deskriptif. Semua alfabet yang berturut-turut seterusnya adalah utang budi pada, dan berasal dari, pencapaian Kanaan ini. New Testament (Gospel, Injil) yang diklaim bahasa aslinya adalah bahasa Yunani juga sudah hilang, sehingga tidak ada naskah asli dari Injil. Bahkan, ini bertentangan dengan bahasa Yesus, yang sama sekali tidak paham bahasa Yunani. Bukankah ini ‘mencederai’ saktralitas Injil yang diklaim sebagai ‘firman Tuhan’?
Dan itulah rahasia mengapa Islam diturunkan di Arab dengan seorang nabi yang berbicara dalam bahasa Arab. Ternyata bahasa Arab itu adalah bahasa tertua di dunia. Sejak zaman nabi Ibrahim as, bahasa itu sudah digunakan. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa bahasa Arab adalah bahasa umat manusia yang pertama. Logikanya sederhana, karena ada sebuah hadits yang menyebutkan bahwa bahasa ahli surga adalah bahasa Arab.
Seperti keimanan umat Islam dan umat-umat agama samawi lainnya, asal-usul manusia juga dari surga, yaitu nabi Adam dan isterinya Hawwa yang keduanya pernah tinggal di surga. Wajar bila keduanya berbicara dengan bahasa ahli surga. Ketika keduanya turun ke bumi, maka bahasa kedua 'Bapak Ibu' itu adalah bahasa Arab, sebagai bahasa tempat asal mereka. Dan ketika mereka berdua beranak pinak, sangat besar kemungkinannya mereka mengajarkan bahasa surga itu kepada para putra-putri mereka, yaitu bahasa Arab.
2. Bahasa Terkaya
Sebagai bahasa yang tertua di dunia, wajarlah bila bahasa Arab memiliki jumlah kosa kata yang paling besar. Para ahli bahasa pernah mengadakan penelitian yang menyebutkan bahwa bahasa Arab memiliki sinonim yang paling banyak dalam penyebutan nama-nama benda. Misalnya untuk seekor unta, orang Arab punya sekitar 800 kata yang identik dengan unta. Untuk kata yang identik dengan anjing ada sekitar 100 kata. Maka tak ada satu pun bahasa di dunia ini yang bisa menyamai bahasa Arab dalam hal kekayaan perbendaharaan kata. Dan dengan bahasa yang lengkap dan abadi itu pulalah agama Islam disampaikan dan Al-Quran diturunkan.
Selain itu, bahasa Arab dikenal memiliki banyak kelebihan, di antaranya:
(1) Sejak zaman dahulu kala hingga sekarang bahasa Arab itu merupakan bahasa yang hidup, (2) Bahasa Arab adalah bahasa yang lengkap dan luas untuk menjelaskan tentang ketuhanan dan keakhiratan, (3) Bentuk-bentuk kata dalam bahasa Arab mempunyai tasrif (konjungsi), yang amat luas hingga dapat mencapai 3000 bentuk perubahan, yang demikian itu tak terdapat dalam bahasa lain.
3. Bahasa Penunjang Kekekalan Al-Qur’an
Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW. dalam bahasa Arab yang nyata (bilisanin ‘Arabiyyin mubinin), agar menjadi: mukjizat yang kekal dan menjadi hidayah (sumber petunjuk) bagi seluruh manusia di setiap waktu (zaman) dan tempat (makan); untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya: dari kegelapan “syirik” kepada cahaya “tauhid”, dari kegelapan “kebodohan” kepada cahaya “pengetahuan”, dan dari kegelapan “kesesatan” kepada cahaya “hidayah”.
Tiga kesatuan poin agama Islam; risalah (Islam), kitab (Al-Qur’an) dan utusan Allah (Muhammad SAW), berjalan terus atas izin Allah sampai dunia ini hancur. Karena Islam adalah risalah (misi) yang universal dan kekal, maka mukjizatnya harus retoris (bayaniyyah), linguistik (lisaniyyah) yang kekal juga.
Dan Allah telah berjanji untuk memelihara Al-Qur’an, seperti firman-Nya: “Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Dzikra (Al-Qur’an) dan Kami pula yang memeliharanya.” (Qs. 15: 9).
Untuk itu diperlukan sebuah bahasa khusus yang bisa menampung informasi risalah secara abadi. Sebab para pengamat sejarah bahasa sepakat bahwa tiap bahasa itu punya masa eksis yang terbatas. Lewat dari masanya, maka bahasa itu akan tidak lagi dikenal orang atau bahkan hilang dari sejarah sama sekali.
Maka harus ada sebuah bahasa yang bersifat abadi dan tetap digunakan oleh sejumlah besar umat manusia sepanjang masa. Bahasa itu ternyata oleh pakar bahasa adalah bahasa Arab, sebagai satu-satunya bahasa yang pernah ada dimuka bumi yang sudah berusia ribuan tahun dan hingga hari ini masih digunakan oleh sejumlah besar umat manusia. Maka tak ada satu pun bahasa di dunia ini yang bisa menyamai bahasa Arab dalam hal kekayaan perbendaharaan kata. Dan dengan bahasa yang lengkap dan abadi itu pulalah agama Islam disampaikan dan Al-Quran diturunkan.
IV. KESIMPULAN / PENUTUP
Prof. Dr. H. Mujiya Rahardjo, Guru besar UIN Malang, saat memberikan mata kuliah Language Change in Social Perspective, menjelaskan: “…adalah fenomena; pergeseran suatau bahasa (pen: tercampur) bahasa asing.” Dan tidak menutup kemungkinan, lambat laun sebuah bahsa akan punah. Sebagai contoh, Mujia Raharjo memaparkan: tidak kurang dari 726 dari 746 bahasa daerah di Indonesia terancam punah. Itu artinya, saat ini tinggal 13 bahasa daerah yang dijadikan sebagai alat tutur oleh jumlah masyarakat di atas satu juta orang. Itupun sebagian besar dilakoni para generasi tua.
Banyak sekali penyebab kepunahan suatu bahasa. Salah satunya, dan penulis setuju menjadikannya sebagai faktor utama adalah kurang atau bahkan tidak adanya nilai guna atau manfaat bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain, jika suatu bahasa masih berguna, secara otomatis ia akan tetap eksis. Nilai guna bahasa selalu berbanding lurus dengan sinergitas dan perkembangannya.
Sampai saat ini, nilai guna suatu bahasa terjadi pada dua titik utama; ekonomi dan sains. Merupakan keinginan semua insan berkelayakan hidup dalam bidang ekonomi. Maka wajar, segala upaya akan dilakukan oleh manusia untuk mensejahterakan kehidupannya. Hubungan serta komunikasi adalah satu cara utama mencapai maksud di atas. Bahasa, sebagai alat komunikasi berperan penting meningkatkan komunikasi tersebut. Maka tidak heran; saat ini bahasa Cina, Mandarin dan Jepang, menjadi bahasa faforit masyarakat untuk dipelajari. Tujuannya tidak lain, karena perkembangan ekonomi di negara-negara tersebut berkembang pesat, perhatian masyarakat dunia pun terarah ke sana, termasuk mampu dan aktif berkomunikasi dengan bahasa mereka.
Demikian juga nilai guna sebuah bahasa di bidang sains, tekhnologi dan ilmu pengetahuan (IPTEK). Pada dimensi ini, bahasa sebagai media komunikasi akan terus hidup dan tumbuh seiring pertumbuhan IPTEK. Kaitannya dengan Al-Qur’an sebagai kitab ajaran dan petunjuk bagi umat Islam sepanjang zaman dan tempat, maka otomatis hal tersebut berimplikasi pada eksistensi dan perkembangan bahasa Arab.
Meski bahasa Arab adalah bahasa yang rumit, namun bukanlah hal susah bagi umat Islam menghapalnya. Ini berbeda dengan kitab suci lain, sebagaimana Bible misalnya. Keuniversalan Al-Quran lainnya, dibuktikan dengan bagaimana Allah menjaganya melalui orang-orang alim dan yang memiliki kelebihan dalam menghapalkannya (tahfiz). Meski terdiri dari ribuan ayat, dalam sejarah, selalu saja banyak orang mampu menghapalnya secara cermat dan tepat, meskipun ia orang buta atau anak usia dini. Al-Quran, mudah dihapal atau dilantunkan dengan gaya apapun. Diakui atau tidak, ini berbeda dengan Bible atau Injil.
Karena itu, setiap usaha apapun untuk menambah atau mengurangi Al-Quran baik yang dilakukan kalangan orientalis atau orang kafir, sepanjang sejarah selalu saja ketahuan. Jangan heran bila banyak umat Islam tiba-tiba ribut gara-gara ada Al-Quran palsu atau sengaja dipalsukan sebagaimana terjadi dalam kasus “The True Furqon.” Barangkali itulah cara Allah menjaganya.
Dan hebatnya, para penghapal Al-Quran, setiap saat selalu saja lahir dan bisa ditemukan di seluruh dunia. Untuk yang seperti ini, di Indonesia, bahkan sudah sejak dulu banyak berdiri pesantren-pesantran tahfiidzul al-Qur’an. Sebaliknya, bagi kita, belum pernah mendengar ada orang Kristen atau Yahudi yang hapal keseluruhan kitab suci mereka, termasuk pendeta atau pastur sekalipun. Mengapa bisa demikian? Sekali lagi, inilah rahasia al-Qur’an dengan bahasa Arabnya. Penulis yakin, dengan alasan-alasan rasional di atas, Anda setuju untuk tidak merelatifkan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an. Wallahu a‘lamu bi al-shawab.